Sampai sekarang kuingat betul detik demi detik tanggal 18 Februari 2021 itu. Aku ingat sekali wajah suamiku ketika bangun dan kaget melihat diriku berdiri panik dan bingung, aku ingat betul raut wajah si kakak yang awalnya bahagia mengira mau jalan-jalan naik mobil tapi tiba-tiba suram ketika melihat aku perlahan menjauh dengan bantuan kursi roda yang didorong oleh salah satu petugas jaga di salah satu rumah sakit langganan kami di Depok itu. Aku juga ingat tatkala seorang perawat menanyakan aktifitasku sebelum ini dan kemudian berkata mau tak mau bayiku harus dikeluarkan secara cesar karena cairan ketuban akan habis yang hanya kurespon dengan air mata yang mengalir deras tanpa sedikit pun suara atau isakan karena sebelumnya suamiku melarang aku menangis agar tidak panik.
Pun begitu ketika siuman, kuingat betul suamiku tidak pernah menangis terisak-isak. Namun hari itu, kulihat air matanya tidak pernah berhenti. Yang kutau selama ini, air mata laki-laki itu mahal harganya, maka ketika mereka menangis, berarti kejadian itu sangat betul-betul melukai dirinya.
Kami semakin larut dalam kesedihan ketika mendengar bayi kami hanya seberat 1.3 kg dan menderita atresia ani. Iya, atresia ani. Sebuah penyakit bawaan lahir dimana anus belum terbentuk yang artinya bayiku tidak memiliki anus.
Aku ingat betul setelah anak keduaku lahir, tidak pernah kulihat sama sekali wajahnya, berbeda ketika si kakak lahir dulu kulihat betul wajah dan seluruh badannya sampai bisa kupeluk si kakak dulu. Mungkin ini adalah SOP dimana kelahiran prematur harus cepat-cepat diselamatkan ke ruang nicu dengan penanganan yang sigap di waktu golden time sekitar 1 jam setelah kelahiran untuk menyelamatkan neonatus.
Aku baru bisa bertemu dengannya ketika diizinkan pulang dan bergegas menemuinya ke ruang NICU. Rasanya seperti ada petir menyambar disertai pukulan keras di dada ketika kulihat putraku untuk pertama kali. Dia berbaring lemah di inkubator dengan banyak selang di sekujur tubuhnya. Kakinya sangat kecil sekali, hampir sebesar ibu jari tanganku.
Mungkin disitulah aku belajar kuat, atau belajar pura-pura kuat. Karena mustahil ada ibu yang kuat melihat bayinya dengan keadaan seperti itu, yang ada hanyalah menahan perih seperti ada sebuncah api di dada yang membakar. Dimana pikiranku menerawang bahwa seharusnya tahun itu kami bahagia menyambut kelahiran putra kami.
Sampai sekarang, kuingat setiap detail peristiwanya. Tidak ada satupun dari kami yang tidak berderai airmata. Begitupun putriku yang masih berusia tiga tahun....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar