Sabtu, 15 Mei 2021

Mengapa bisa prematur?

Mengapa bisa kali ini bayi kami lahir prematur? 

Yap, tepat tanggal 18 Februari dini hari ketubanku pecah,bukan hanya merembes seperti ketika kakaknya. Kali ini benar-benar pecah dan mengalir deras. Sehingga tidak bisa menunggu lama-lama.

Ga berapa lama setelah keadaanku stabil, kucari tau dan kutanya kemana-mana mengenai ketuban pecah dini, bahkan saya siap di check up agar ke depannya bisa waspada. Namun sayang, semua tenaga kesehatan berkata bahwa ketuban pecah dini tidak bisa dicari tau penyebab pastinya. 

Sampai ketika itu, saya sedang kontrol untuk ROP si bayi di hermina, yaitu ke dokter Erry. Singkat cerita, beliau bertanya anak keberapa dan menanyakan keadaan si kakak. Dan kebetulan si kakaknya lahir dalam keadaan sehat bahkan gendut sekali, yang menjadi momok atau musibah bagi nenek2nya. Yap, waktu kakak lahir, nenek yang satu kuatir bukan main dengan cesar, sedangkan yang satu lagi tak henti-hentinya marah karena cucunya terlahir dengan bobot 4 Kg. Sedangkan saya dan suami sangat bahagia melihat putri kami yang merupakan bayi gede😂.

Dokter itu pun bertanya, apa kondisi kehamilan pertama dan kedua sangat berbeda?  

Pikiranku pun melayang menyusun cerita-cerita dalam hidupku akhir-akhir itu.


Sebelum ini saya adalah wanita pekerja. Dengan gaji lumayan, dan menurut saya pekerjaan saya masih bisa membuat hidup saya sebagai seorang ibu seimbang dan tidak menelantarkan anak saya. Namun, mungkin karena performa saya atau mungkin memang sudah jalan hidup saya, saya mendapat alur hidup baru dimana antara pekerjaan dan rumah tangga saya tak seimbang. Dan selang dua tahun kemudian, saya resign dari pekerjaan yang membuat saya sering pulang larut malam bahkan hingga  lewat tengah malam. Ya mungkin memang dari awal bukan rezeki saya di kantor itu.

Saya sadar betul akan ada tantangan baru dalam hidup saya, terutama dalam hal pertemanan. Betul, masalah awal IRT itu adalah kesepian, saya tau persis. Semenjak hamil, saya tidak pernah bertukar pikiran dengan sebaya. Saya hanya mendapat nasehat satu arah dari para orangtua yang mengamit-amitkan cesar dan mewanti-wanti agar bayinya tidak besar.

 Berbekal nasihat itulah, saya mulai diet jarang ngemil tidak seperti jaman anak pertama. Lalu, mulai sering bergerak dan menggendong si kakak. Masak, nyuci,ngepel, nyetrika, mengurus anak pertama, saya semua lakukan agar bisa melahirkan secara normal. Tidak ada lagi masukan-  masukan seperti harus sering beristirahat seperti yang kudengar jika bertemu teman-teman kantor. 


Rabu, 12 Mei 2021

Rumah Sakit

Rumah sakit adalah tempat orang sakit berobat,baik inap maupun bolak balik yang kita tau sebagai rawat jalan.

Namun kata itu mulai berubah ketika beberapa peristiwa yang kami sekeluarga alami.

Setelah 21 hari berlalu dan bayi kami dirawat inap di NICU, saya penasaran berapa akumulasi biayanya. Maklum, waktu proses kelahiran kami ditanggung oleh kantor tempat papa bekerja. Namun untuk NICU sepertinya karena kasus khusus, kami tidak tau akan ditanggung atau tidak. 

Segera setelah mendengar pertanyaan dari saya, papa anak- anak langsung ke rumah sakit di bilangan Depok itu yang tepat berada di jalan siliwangi. Tak berapa lama setelah dia pergi, ada panggilan masuk darinya. Dengan nada parau dan sedih, dia bercerita bahwa uang yang kami sediakan untuk pengobatan bayi kami sudah tidak mencukupi. Yah, kami hanya menyediakan sekitar 170 juta rupiah, sedangkan tagihan rumah sakit sudah lebih dari itu dan dengan melihat kondisi bayi kami yang belum pulih pasca operasi, minum susu masih sedikit dan berat badannya belum bertambah sama sekali, kamipun galau. Bahkan hari itu saya sangat stress.  Jika diteruskan di rumah sakit itu, kami sudah tak ada dana lagi. Mengingat kamipun juga harus menyediakan sisa dana untuk operasi atresia ani nya kelak.

Muncullah beberapa opsi selama diskusi dengan RS, opsi yang kami ambil adalah pindah rumah sakit yang bisa memakai BPJS. Lalu dengan biaya ambulance yang tidak sedikit, kami memindahkan anak kami ke rumah sakit tipe B yang dimiliki pemerintah dengan lokasi tak jauh dari kebun raya bogor dengan harapan anak kami akan dirawat lama hingga tidak perlu menggunakan sonde, naik berat badannya hingga tak perlu inkubator untuk menahan suhu serta recovery dari operasinya. 

Semua harapan itu pupus di hari kelima anak kami dirawat di rumah sakit milik pemerintah itu, ketika kami usai mengantarkan anak pertama kami berobat, tepat pukul 13.30 siang ada telepon masuk ke ponsel saya. Dengan tegas, suster yang mengenalkan diri sebagai suster dari NICU RS PM* itu mennyuruh kami segera menjemput bayi kami tepat pukul 16:00 sore paling lambat. Karena jika lewat akan berbayar pribadi. Dengan keringat dingin aku menutup telepon dan segera mengabarkan suami dan kerabat yang menunggu di ruang tunggu PMI. Iya, mereka menelepon saya yang di rumah namun tidak mengkontak kerabat yang sedang ada di ruang tunggu. Heran kan? Padahal mereka sendiri yang menyuruh harus ada yang menunggu di ruang tunggu selama 24 jam.

Dengan sakit hati yang paling dalam, aku berpikir pada saat itu mungkin arti RS adalah tempat dimana orang-orang sakit berada.

Ketika akhirnya suami nego agar bisa pulang esok harinya dengan membayar perawatan untuk satu hari dari kocek pribadi. Akhirnya tibalah kami jemput bayi kami. Yang awalnya masih pakai OGT, tiba-tiba sudah dilepas. Wah hebat bgt mereka bisa langsung lepas. Dan benar ketika sampai rumah anak kami sama sekali sulit untuk menyusu baik botol maupun langsung ke ibunya hingga akhirnya pihak dokter herm*n* dimana kami kembali kesana untuk rawat jalan dan tidak mau kembali ke bogor, menyarankan agar memakai OGT. Setelah memakai OGT,beratnya berangsur-angsur membaik. See?? Siapa yang sotoy.?

Jadi total hari dimana bayi kami dirawat di rumah sakit PM* Bogor itu hanya 5 hari dan tubuh yang masih sering biru ketika menangis. Kami tidak tau pasti, mungkin ini terkait urusan dengan BPJS kah? Yang kami tau memang tak ada rumah sakit yang suka dengan pembiayaan dari BPJS. Siapa sih yang suka berurusan dengan instansi birokrat pemerintah? 


Tapi di lain sisi pernah saya dengar dari komunitas prematur, seorang ibu bayi prematur dirawat hingga berbulan- bulan di RS harapan kita hingga berat badan bayinya cukup dan lebih dari 2 kg dengan memakai BPJS di rumah sakit tersebut serta  juga bisa meminum susu seperti bayi cukup bulan pada umumnya. Tidak seperti pada bayi kami.

Wallahu alam bisawab.

Senin, 10 Mei 2021

Jam 2 malam itu...

Tak pernah sebersitpun terpikirkan kalau menjelang dini hari itu, pada jam dimana semua orang terlelap tiba-tiba aku seperti tersambar petir. Ketuban pecah mengalir deras seketika tepat jam dua dini hari. Sontak aku bangun dari tidur karena kupikir mungkin kayak anak kecil, pipis di celana. Ketika aku ke arah toilet rumah, air itu tidak berhenti keluar dengan deras. Anak balitaku kebetulan sedang terjaga dan dia ikut terlihat menangis melihat ibunya panik dan berurai air mata.


Sampai sekarang kuingat betul detik demi detik tanggal 18 Februari 2021 itu. Aku ingat sekali wajah suamiku ketika bangun dan kaget melihat diriku berdiri panik dan bingung, aku ingat betul raut wajah si kakak yang awalnya bahagia mengira mau jalan-jalan naik mobil tapi tiba-tiba suram ketika melihat aku perlahan menjauh dengan bantuan kursi roda yang didorong oleh salah satu petugas jaga di salah satu rumah sakit langganan kami di Depok itu. Aku juga ingat tatkala seorang perawat menanyakan aktifitasku sebelum ini dan kemudian berkata mau tak mau bayiku harus dikeluarkan secara cesar karena cairan ketuban akan habis yang hanya kurespon dengan air mata yang mengalir deras tanpa sedikit pun suara atau isakan karena sebelumnya suamiku melarang aku menangis agar tidak panik. 

Pun begitu ketika siuman, kuingat betul suamiku tidak pernah menangis terisak-isak. Namun hari itu, kulihat air matanya tidak pernah berhenti. Yang kutau selama ini, air mata laki-laki itu mahal harganya, maka ketika mereka menangis, berarti kejadian itu sangat betul-betul melukai dirinya.

Kami semakin larut dalam kesedihan ketika mendengar bayi kami hanya seberat 1.3 kg dan menderita atresia ani. Iya, atresia ani. Sebuah penyakit bawaan lahir dimana anus belum terbentuk yang artinya bayiku tidak memiliki anus. 

Aku ingat betul setelah anak keduaku lahir, tidak pernah kulihat sama sekali wajahnya,  berbeda ketika si kakak lahir dulu kulihat betul wajah dan seluruh badannya sampai bisa kupeluk si kakak dulu. Mungkin ini adalah SOP dimana kelahiran prematur harus cepat-cepat diselamatkan ke ruang nicu dengan penanganan yang sigap di waktu golden time sekitar 1 jam setelah kelahiran untuk menyelamatkan neonatus. 

Aku baru bisa bertemu dengannya ketika diizinkan pulang dan bergegas menemuinya ke ruang NICU. Rasanya seperti ada petir menyambar disertai pukulan keras di dada ketika kulihat putraku untuk pertama kali. Dia berbaring lemah di inkubator dengan banyak selang di sekujur tubuhnya. Kakinya sangat kecil sekali, hampir sebesar ibu jari tanganku.

Mungkin disitulah aku belajar kuat, atau belajar pura-pura kuat. Karena mustahil ada ibu yang kuat melihat bayinya dengan keadaan seperti itu, yang ada hanyalah menahan perih seperti ada sebuncah api di dada yang membakar. Dimana pikiranku menerawang bahwa seharusnya tahun itu kami  bahagia menyambut kelahiran putra kami. 

Sampai sekarang, kuingat setiap detail peristiwanya. Tidak ada satupun dari kami yang tidak berderai airmata. Begitupun putriku yang masih berusia tiga tahun....

GDD Global Development Delay

Long time no write... Mendampingi anak anak dan mengurus rumah sudah menjadi hal biasa sekarang. Antar jemput si kakak dan drop si adik ke d...